karena nama tersebut lekat di ingatan saya sejak kecil
sebagai salah satu ruas jalan di kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Jogja ke arah utara.
Dan satu kebetulan pula siang tadi, ba'da sholat Jum'at, saya berziarah ke makam kedua orang tua saya.
Beliau berdua dimakamkan di makam Blunyah Gede, Sinduadi, Mlati, Sleman, DI Yogyakarta.
Selesai beranjak dari pusara orang tua, mata saya menyapu sekeliling makam.
Dan pandangan saya terhenti pada beberapa makam dengan replika bendera merah putih yang berkibar,
terikat pada batang bambu runcing yang dicat kekuningan.
Ingatan melayang ke masa kecil saya,
saat bapak almarhum yang juga seorang guru pernah menunjukkan makam A.M. Sangadji
di kompleks pemakaman tersebut.
Masih terasa pula perasaan saya sebagai seorang kanak-kanak yang begitu tersentuh dengan cerita kepahlawanan para tokoh nasional dari buku dan cerita bergambar yang saya baca kala itu.
Pastinya adalah tokoh-tokoh mainstream seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol,
Bung Tomo, dan sebagainya.
Meskipun saat itu saya belum tahu siapa A.M. Sangadji,
tapi saya yakin beliau adalah pahlawan.
Karena namanya diabadikan sebagai nama jalan.
Makamnyapun ditandai dengan bambu runcing, bendera merah putih dan bertuliskan "Pejuang".
Ada sensasi tersendiri di hati saya ...
Saya mencoba menelusur mesin pencari ...
Tak banyak saya jumpai artikel tentang beliau.
A.M. Sangadji seolah pahlawan yang sedikit terlupakan.
Dari Wikipedia saya cuplik beberapa narasi tentang beliau.
A.M. Sangadji (Abdul Muthalib Sangadji) dilahirkan di Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku.
Tidak disebutkan tanggal, bulan dan tahun kelahirannya.
Beliau meninggal di Yogyakarta pada tahun 1947.
Berbeda dengan informasi yang dipahat di pusara beliau.
Tertulis disitu : Lahir 3 Juni 1889 dan Wafat : 8 Mei 1949
A.M. Sangadji adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan tanah kelahiran beliau ,Haruku, dikenal sebagai daerah dengan masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan agama.
Garis keturunan beliau berasal dari keluarga Sangadji Hatuhaha.
Sangadji sendiri merupakan gelar untuk wakil Kesultanan Ternate pada masanya di Pulau Haruku (Nusa Hatuhaha).
A.M. Sangadji mengenyam pendidikan dasar pada Sekolah Belanda HIS
dan dilanjutkan dengan pendidikan menengah MULO.
Beliau tidak sempat melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi, karena memilih terjun dalam dunia politik.
Bersama H.O.S. Cokroaminoto dan beberapa pejuang sejamannya seperti H. Agus Salim,
beliau turut andil dalam mendirikan organisasi Sarekat Islam
yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam pada tahun 1912.
A.M. Sangadji juga pernah berpartisipasi sebagai peserta dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Dikenal piawai dalam berpidato A.M. Sangadji memiliki mobilitas tidak hanya di Maluku tempat asalnya, tapi juga pernah berkiprah di Borneo, terlebih lagi di Jawa.
Pada tahun 1920-an, di Samarinda Kalimantan Timur,
A.M. Sangadji mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat (BPPR)
serta mengelola Neutrale School untuk menampung anak-anak sekolah dari kalangan bumiputera.
Dari bubuhanbanjar.wordpress.com diinformasikan bahwa :
Setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
A.M. Sangaji mengkoordinir suatu perjalanan panjang yang dilakukan oleh 3 grup/gelombang dari Samarinda ke Banjarmasin untuk bertemu dengan pimpinan BPRI
sekaligus memberitahukan proklamasi kemerdekaan, mengibarkan bendera, dan memberikan kesadaran kepada rakyat di daerah-daerah yang dilalui.
Rombongan A.M. Sangaji tiba di Marabahan Kalimantan Selatan,
akan tetapi beberapa saat kemudian tepatnya bulan April 1946 polisi Belanda berhasil menangkap
A.M. Sangaji dan memenjarakannya di penjara Banjarmasin,
yakni bangunan penjara yang lokasinya sekarang di tempati Gedung Pos Besar Banjarmasin.
Penjara Banjarmasin saat itu penuh sesak dengan tawanan.
Sebagian besar adalah hasil penangkapan besar-besaran yang dilakukan Belanda pasca meletusnya pemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, pemberontakan 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “trikesuma” di Barabai tanggal 19 ke 20 Maret 1946.
Banyaknya pejuang yang ditangkap Belanda, mengakibatkan penjara Banjarmasin penuh sesak dengan para tawanan.
Mereka yang mengalami mengatakan hanya berdiri, dan sukar bebas bernapas dan bahkan kelaparan karena makanan seringkali diberikan satu kali sehari dengan porsi sepiring dibagi empat,
sehingga kulit pisang yang dilempar penjaga pun menjadi santapan dan rebutan.
Akan tetapi, banyaknya pejuang dan saat dijebloskannya A.M. Sangaji ke dalam penjara Banjarmasin, telah menjadikan penjara itu seolah-olah daerah kekuasaan Republik.
A.M. Sangaji masuk dengan lenggang yang gagah, ayun tangan sebagai seorang prajurit yang menang perang.
Seruan merdeka bergemuruh sebagai sambutan dari segenap bilik penjara.
Dan dari bangsal D (bangsal yang besar) bergema lagu Indonesia Raya.
Polisi tak bisa bertindak apa-apa.
Di dalam Majalah Mandau yang diterbitkan oleh Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) di Yogyakarta (1948) A.M. Sangaji menceritakan,
“Keadaan kami ketika itu dalam penjara adalah sebagai dalam daerah merdeka, daerah Republik, di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya, ada polisinya, ada dokternya, ada kadi-nya dan terutama pemuda-pemuda sebagai prajurit yang menjadi isi tempat tahanan itu”.
Oleh para pejuang kemerdekaan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
A.M. Sangadji disebut sebagai pemimpin tua dan dijuluki "Jago Tua", seperti diwartakan dalam beberapa surat kabar di ibukota Republik, Hindeburg Kalimantan, serta Merdeka Solo.
Pihak Kolonial Belanda dan Jepang pun tahu tentang kedudukan dia sebagai pemimpin tua itu.
Selepas keluar penjara Banjarmasin, A.M. Sangaji menyeberang ke pulau Jawa.
Ia kemudian memimpin Laskar Hisbullah yang berpusat di Yogyakarta
dan pernah menugaskan R. Soedirman untuk membentuk Laskar untuk daerah Martapura dan Pelaihari, serta Tamtomo sebagai penghubung Markas Besar Hisbullah Yogya untuk Kalimantan.
Akan tetapi, ia kemudian tewas ditembak militer ketika Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta tahun 1947.
Beberapa comment yang disampaikan di bubuhanbanjar.wordpress.com,
diantaranya berasal dari keturunan AM. Sangadji.
Saya kutip beberapa komentar di bawah ini :
"Ada yang terlewat tentang perjuangan AM. Sangaji, yaitu perjalanan panjang dan bersejarah pasca proklamasi kemerdekaan untuk mempertahankan Kemerdekaan RI di Kalimantan dari Samarinda ke Banjarmasin menelusuri hutan/sungai/semak/belukar dengan berjalan kaki dan sesekali menggunakan perahu masuk kampung keluar kampung dan mengibarkan bendera di Muara Tewe, siapakah pejuang kita yang mendampingi beliau hingga akhirnya AM Sangaji ditangkap dan diantara tokoh pejuang kita tersebut setelah melakukan perlawanan bersenjata ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Nusakambangan hingga Case fire"
"Perjalanan panjang AM SANGAJI dengan berjalan kaki dari Samarinda. melewati sungai dan hutan belantara ke Banjarmasin pasca proklamasi bertujuan untuk kampanye kemerdekaan RI dengan rombongan keluarga H. Nawawie Arif (bergelar trikesuma)/Pejuang/Perintis Kemerdaan. Ketika itu dibeberapa tempat terjadi perlawanan bersenjata dengan kolonial Belanda karena aksi penurunan bendara Belanda di beberapa distrik /Kota a.l. Muaratewe Marabahan hingga Barabai (Pemberontakan Bersenjata tgl.19 ke 20 Maret 1946) adalah bagian yang tak terpisahkan dari kampanye Indonesia Merdeka. Pengorbanan mereka terpisah dengan keluarga, harta dan nyawa adalah dedikasi kepada negara RI untuk mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai wilayah NKRI. Semoga sejarah tetap mencatat perjuangannya dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya, berkarya untuk pembangunan bangsa bebas dari koropsi dan new kolonialisme…..merdeka!!!"
Namun pada akhirnya jalan AM Sangadji mungkin hanya akan menjadi kenangan saya di masa lalu.
Karena nama jalan Pangeran Mangkubumi menggantikan nama Jalan AM Sangaji
sebagaimana diatur melalui Keputusan Wali Kota Yogyakarta Nomor 494/2016 tanggal 27 Oktober 2016.
Nama Jalan P Mangkubumi sendiri sebelumnya merupakan nama jalan yang membentang dari Tugu de Witte Paal hingga rel kereta api menyambung dengan Jalan Malioboro. Saat ini, jalan yang sebelumnya bernama Jalan Mangkubumi itu dikembalikan menjadi Jalan Margo Utomo.
Menurut sumber Pemda Yogyakarta, penggunaan kembali nama Mangkubumi sebagai nama jalan dapat digunakan untuk menguatkan keberadaan sumbu filosofis Yogyakarta yang menghubungkan Gunung Merapi di sisi utara hingga pantai selatan, serta untuk menguatkan Yogyakarta sebagai kota budaya.
Entahlah ...
Pemerintah lebih tahu dari saya.
Tapi A.M. Sangadji tetap tak terlupakan oleh saya.
Lepas dari nama beliau diabadikan atau dihapuskan dari nama salah satu ruas jalan di Yogya.
Yk - Jun 23, 2017 - Selepas juma'atan
Selesai beranjak dari pusara orang tua, mata saya menyapu sekeliling makam.
Dan pandangan saya terhenti pada beberapa makam dengan replika bendera merah putih yang berkibar,
terikat pada batang bambu runcing yang dicat kekuningan.
Ingatan melayang ke masa kecil saya,
saat bapak almarhum yang juga seorang guru pernah menunjukkan makam A.M. Sangadji
di kompleks pemakaman tersebut.
Masih terasa pula perasaan saya sebagai seorang kanak-kanak yang begitu tersentuh dengan cerita kepahlawanan para tokoh nasional dari buku dan cerita bergambar yang saya baca kala itu.
Pastinya adalah tokoh-tokoh mainstream seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol,
Bung Tomo, dan sebagainya.
Meskipun saat itu saya belum tahu siapa A.M. Sangadji,
tapi saya yakin beliau adalah pahlawan.
Karena namanya diabadikan sebagai nama jalan.
Makamnyapun ditandai dengan bambu runcing, bendera merah putih dan bertuliskan "Pejuang".
Ada sensasi tersendiri di hati saya ...
Sumber : bubuhanbanjar.wordpress.com |
Tak banyak saya jumpai artikel tentang beliau.
A.M. Sangadji seolah pahlawan yang sedikit terlupakan.
Dari Wikipedia saya cuplik beberapa narasi tentang beliau.
A.M. Sangadji (Abdul Muthalib Sangadji) dilahirkan di Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku.
Tidak disebutkan tanggal, bulan dan tahun kelahirannya.
Beliau meninggal di Yogyakarta pada tahun 1947.
Berbeda dengan informasi yang dipahat di pusara beliau.
Tertulis disitu : Lahir 3 Juni 1889 dan Wafat : 8 Mei 1949
Sumber : Dokumentasi Pribadi |
A.M. Sangadji adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan tanah kelahiran beliau ,Haruku, dikenal sebagai daerah dengan masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan agama.
Garis keturunan beliau berasal dari keluarga Sangadji Hatuhaha.
Sangadji sendiri merupakan gelar untuk wakil Kesultanan Ternate pada masanya di Pulau Haruku (Nusa Hatuhaha).
A.M. Sangadji mengenyam pendidikan dasar pada Sekolah Belanda HIS
dan dilanjutkan dengan pendidikan menengah MULO.
Beliau tidak sempat melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi, karena memilih terjun dalam dunia politik.
Bersama H.O.S. Cokroaminoto dan beberapa pejuang sejamannya seperti H. Agus Salim,
beliau turut andil dalam mendirikan organisasi Sarekat Islam
yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam pada tahun 1912.
A.M. Sangadji juga pernah berpartisipasi sebagai peserta dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Dikenal piawai dalam berpidato A.M. Sangadji memiliki mobilitas tidak hanya di Maluku tempat asalnya, tapi juga pernah berkiprah di Borneo, terlebih lagi di Jawa.
Pada tahun 1920-an, di Samarinda Kalimantan Timur,
A.M. Sangadji mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat (BPPR)
serta mengelola Neutrale School untuk menampung anak-anak sekolah dari kalangan bumiputera.
Dari bubuhanbanjar.wordpress.com diinformasikan bahwa :
Setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
A.M. Sangaji mengkoordinir suatu perjalanan panjang yang dilakukan oleh 3 grup/gelombang dari Samarinda ke Banjarmasin untuk bertemu dengan pimpinan BPRI
sekaligus memberitahukan proklamasi kemerdekaan, mengibarkan bendera, dan memberikan kesadaran kepada rakyat di daerah-daerah yang dilalui.
Rombongan A.M. Sangaji tiba di Marabahan Kalimantan Selatan,
akan tetapi beberapa saat kemudian tepatnya bulan April 1946 polisi Belanda berhasil menangkap
A.M. Sangaji dan memenjarakannya di penjara Banjarmasin,
yakni bangunan penjara yang lokasinya sekarang di tempati Gedung Pos Besar Banjarmasin.
Penjara Banjarmasin saat itu penuh sesak dengan tawanan.
Sebagian besar adalah hasil penangkapan besar-besaran yang dilakukan Belanda pasca meletusnya pemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, pemberontakan 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “trikesuma” di Barabai tanggal 19 ke 20 Maret 1946.
Banyaknya pejuang yang ditangkap Belanda, mengakibatkan penjara Banjarmasin penuh sesak dengan para tawanan.
Mereka yang mengalami mengatakan hanya berdiri, dan sukar bebas bernapas dan bahkan kelaparan karena makanan seringkali diberikan satu kali sehari dengan porsi sepiring dibagi empat,
sehingga kulit pisang yang dilempar penjaga pun menjadi santapan dan rebutan.
Akan tetapi, banyaknya pejuang dan saat dijebloskannya A.M. Sangaji ke dalam penjara Banjarmasin, telah menjadikan penjara itu seolah-olah daerah kekuasaan Republik.
A.M. Sangaji masuk dengan lenggang yang gagah, ayun tangan sebagai seorang prajurit yang menang perang.
Seruan merdeka bergemuruh sebagai sambutan dari segenap bilik penjara.
Dan dari bangsal D (bangsal yang besar) bergema lagu Indonesia Raya.
Polisi tak bisa bertindak apa-apa.
Di dalam Majalah Mandau yang diterbitkan oleh Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) di Yogyakarta (1948) A.M. Sangaji menceritakan,
“Keadaan kami ketika itu dalam penjara adalah sebagai dalam daerah merdeka, daerah Republik, di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya, ada polisinya, ada dokternya, ada kadi-nya dan terutama pemuda-pemuda sebagai prajurit yang menjadi isi tempat tahanan itu”.
Oleh para pejuang kemerdekaan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
A.M. Sangadji disebut sebagai pemimpin tua dan dijuluki "Jago Tua", seperti diwartakan dalam beberapa surat kabar di ibukota Republik, Hindeburg Kalimantan, serta Merdeka Solo.
Pihak Kolonial Belanda dan Jepang pun tahu tentang kedudukan dia sebagai pemimpin tua itu.
Selepas keluar penjara Banjarmasin, A.M. Sangaji menyeberang ke pulau Jawa.
Ia kemudian memimpin Laskar Hisbullah yang berpusat di Yogyakarta
dan pernah menugaskan R. Soedirman untuk membentuk Laskar untuk daerah Martapura dan Pelaihari, serta Tamtomo sebagai penghubung Markas Besar Hisbullah Yogya untuk Kalimantan.
Akan tetapi, ia kemudian tewas ditembak militer ketika Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta tahun 1947.
Sumber : bubuhanbanjar.wordpress.com |
Beberapa comment yang disampaikan di bubuhanbanjar.wordpress.com,
diantaranya berasal dari keturunan AM. Sangadji.
Saya kutip beberapa komentar di bawah ini :
"Ada yang terlewat tentang perjuangan AM. Sangaji, yaitu perjalanan panjang dan bersejarah pasca proklamasi kemerdekaan untuk mempertahankan Kemerdekaan RI di Kalimantan dari Samarinda ke Banjarmasin menelusuri hutan/sungai/semak/belukar dengan berjalan kaki dan sesekali menggunakan perahu masuk kampung keluar kampung dan mengibarkan bendera di Muara Tewe, siapakah pejuang kita yang mendampingi beliau hingga akhirnya AM Sangaji ditangkap dan diantara tokoh pejuang kita tersebut setelah melakukan perlawanan bersenjata ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Nusakambangan hingga Case fire"
"Perjalanan panjang AM SANGAJI dengan berjalan kaki dari Samarinda. melewati sungai dan hutan belantara ke Banjarmasin pasca proklamasi bertujuan untuk kampanye kemerdekaan RI dengan rombongan keluarga H. Nawawie Arif (bergelar trikesuma)/Pejuang/Perintis Kemerdaan. Ketika itu dibeberapa tempat terjadi perlawanan bersenjata dengan kolonial Belanda karena aksi penurunan bendara Belanda di beberapa distrik /Kota a.l. Muaratewe Marabahan hingga Barabai (Pemberontakan Bersenjata tgl.19 ke 20 Maret 1946) adalah bagian yang tak terpisahkan dari kampanye Indonesia Merdeka. Pengorbanan mereka terpisah dengan keluarga, harta dan nyawa adalah dedikasi kepada negara RI untuk mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai wilayah NKRI. Semoga sejarah tetap mencatat perjuangannya dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya, berkarya untuk pembangunan bangsa bebas dari koropsi dan new kolonialisme…..merdeka!!!"
Namun pada akhirnya jalan AM Sangadji mungkin hanya akan menjadi kenangan saya di masa lalu.
Karena nama jalan Pangeran Mangkubumi menggantikan nama Jalan AM Sangaji
sebagaimana diatur melalui Keputusan Wali Kota Yogyakarta Nomor 494/2016 tanggal 27 Oktober 2016.
Menurut sumber Pemda Yogyakarta, penggunaan kembali nama Mangkubumi sebagai nama jalan dapat digunakan untuk menguatkan keberadaan sumbu filosofis Yogyakarta yang menghubungkan Gunung Merapi di sisi utara hingga pantai selatan, serta untuk menguatkan Yogyakarta sebagai kota budaya.
Entahlah ...
Pemerintah lebih tahu dari saya.
Tapi A.M. Sangadji tetap tak terlupakan oleh saya.
Lepas dari nama beliau diabadikan atau dihapuskan dari nama salah satu ruas jalan di Yogya.
Semoga beliau dilapangkan kuburnya,
diampuni seluruh dosa, diterima semua amalnya.
Diangkat arwahnya ke surga yang mulia.
Aamiin ...Yk - Jun 23, 2017 - Selepas juma'atan
According to this article. Sangadji was murdered in april 1949: https://www.delpher.nl/nl/kranten/results?query=sangadji&facets%5Bperiode%5D%5B%5D=1%7C20e_eeuw%7C1940-1949%7C&page=3&sortfield=date&coll=ddd
ReplyDeleteThank you
DeleteKalau boleh tau siapa yang menulis artikel ini?
ReplyDeleteKompilasi dari beberapa sumber
DeleteAdik kelas saya di SMK nama belakang nya Sangadji. Ketika saya tanya (penasaran sama nama Sangadji) dia bilang bener kakeknya atau kakek buyut nya itu AM Sangadji. Mau tanya-tanya kok waktu tidak memungkinkan. Dan sampai lulus tidak kesampaian tanya lebih lanjut. Duh menyesal. 😀
ReplyDeleteDikontak lagi lah :D
Delete